Senin, 20 Februari 2017

Sering gak kalian bertanya-tanya "untuk apa semua ini?  makna dari hidup saya? Kenapa hidup saya terasa aneh, berputar-putar dari hari ke hari? Hanya pergantian episode senang dan sedih? kenapa saya seperti dikuasai oleh kehidupan saya?" muncul di hati Anda.

Sebenarnya, Allah setiap saat 'memanggil-manggil' kita untuk kembali kepada-Nya. Dengan cara apa aja. Dia, dengan kasih sayang-Nya,terkadang membuat suasana kehidupan seorang anak manusia sedemikian rupa sehingga kalbunya dibuat-Nya 'menoleh' kepada Allah. Hanya saja, teramat sedikit orang yang mendengarkan, atau berusaha mendengarkan, panggilan-Nya ini. Allah terkadang membuat kita terus menerus gelisah, atau terus menerus mempertanyakan 'Siapa diri saya ini sebenarnya? Apa tujuan saya?

Apa makna kehidupan saya?,' dan sebagainya. Bukankah kegalauan semacam
ini adalah sebuah seruan, panggilan supaya kita mencari kesejatian?
Mencari kebenaran? Mencari 'Al-Haqq'? Allah, percayalah, akan selalu
menurunkan pancingan-pancingan pada manusia untuk mencari-Nya.

Apakah seseorang percaya kepada-Nya atau tidak, beragama atau tidak, Dia tidak pandang bulu.

Apakah seseorang membaca kitab-Nya atau tidak, percaya pada para
utusan-Nya ataupun tidak, semua orang pernah dipanggil-Nya dengan cara
seperti ini. Setiap orang pasti dipanggil-Nya seperti ini untuk mencari
kesejatian atau kebenaran, untuk mencari hakikat kehidupan.

Kita disibukan dengan hal dunia untuk mencari siapakah diri kita

sebenarnya. Kita disibukkan oleh pekerjaan, dibuai oleh kesibukan,
mengejar kesuksesan kerja, atau ditipu oleh dalih mengejar karir atau
sekolah, atau nyaman bersama keluarga. Sangat sering, ketika hal ini
terjadi, pertanyaan-pertanyaan seperti itu, yaitu potensi
pencarian kebenaran yang kita bawa sejak lahir, yang ketika kanak-kanak
sangat nyata, terkubur dan terlupakan begitu saja seiring waktu kita
menjadi semakin dewasa. Padahal, itu adalah 'potensi mencari Allah' yang
Dia bekali untuk kita ketika lahir. Bukan berarti kita harus meninggalkan
semua itu, bukan sama sekali. Tapi, jangan biarkan semua itu
menenggelamkan potensi pencarian kebenaran yang telah Allah turunkan pada
kita semenjak lahir.

Ketika kita tenggelam dalam dunia seperti itu, kita bahkan tidak

menyadari bahwa kehidupan kita berputar-putar saja dari hari ke hari.
Sekolah, mengejar karir, pergi pagi pulang sore, terima gaji, menikah,
membesarkan anak, menyekolahkan anak, pensiun, dan seterusnya setiap
hari, selama bertahun-tahun. Apakah hanya itu? Bukankah kita tanpa sadar
telah terjebak kepada pusaran kehidupan yang terus berputar-putar saja,
tanpa makna? Celakanya, kita mencetak anak-anak kita untuk mengikuti pola
yang sama dengan kita. Pada saatnya nanti, mungkin hidup mereka pun akan
mengulangi putaran-putaran tanpa makna yang pernah kita tempuh.

Sangat jarang orang yang potensi pencariannya akan Allah belum

terkubur. Dalam hal ini, saya masih aja gelisah mencari makna
kehidupan, dan kapan akan berakhir?
Padahal kegelisahannya itu merupakan dari jiwa yang
menjerit tidak ingin terkubur dalam kehidupan dunia. Dia 'menjerit' ingin
mencari Al-Haqq, dan kadang naik ke permukaan dalam bentuk
kegelisahan.

Sayang, sebagian orang segera membantai kegelisahannya, potensi

pencarian kebenarannya ini, justru pada saat ketika ia timbul; karena
secara psikologis hal ini memang terasa tidak nyaman. Maka untuk
melupakannya, ia semakin menenggelamkan diri lebih dalam lagi dalam
pekerjaannya, kesibukannya, bersenang-senang, atau berdalih menutupi
kegelisahannya dengan berusaha lebih lagi mencintai istri dan anak, atau
keluarga, menenggelamkan diri dalam keasyikan hobi… dan sebagainya.

Atau, membantainya dengan kesenangan spiritual sesaat, seperti
datang ke pengajian bukan dengan niat mencariNya tapi hanya untuk
melenyapkan kegelisahannya, seperti obat sakit kepala saja. Kegelisahan
hilang, dia pun pergi lagi.. Atau juga dengan mengindoktrinasi dirinya:
"Manusia diciptakan untuk beribadah!! Segala jawaban telah ada di
Qur'an!!" Oke, tapi ibadah yang seperti apa? Bisakah kita benar-benar
beribadah, tanpa mengetahui maknanya? Atau lebih jauh lagi, mampukah ia
menjangkau makna Qur'an?

Beranikah kita jujur pada diri kita sendiri: Jika qur'an benar,
mengapa kegelisahannya tidak hilang? Mengapa qur'an seperti kitab suci
yang tidak teratur susunannya? Mengapa ayatnya kadang melompat-lompat,
dari satu topik ke yang lainnya secara mendadak? Jika kita beriman,
apakah iman itu? Apakah takwa itu? Apakah Lauhul Mahfudz? Apakah Ad-diin?
Apakah Shiratal Mustaqim? Jalan yang lurus yang bagaimana? Mengapa qur'an
terasa abstrak dan tak terjangkau makna sebenarnya? Ini sebenarnya
pertanyaan-pertanyaan jujur, dan sama sekali bukan menghakimi qur'an.

Kadang orang terus saja mengindoktrinasi dirinya sendiri, padahal
qur'an sendiri menyatakan bahwa tidak ada yang mampu menjangkaunya selain
orang-orang yang disucikan/ mutahhiriin, (QS 56:77-79).
[Q.S. 56] "Sesungguhnya Al Qur'an ini adalah bacaan yang sangat
mulia (77). Pada kitab yang terpelihara (78). Dan tidak menyentuhnya
kecuali hamba-hamba yang disucikan/ muthahhiriin (79)."
Apakah dia berani yakin bahwa dia adalah seorang yang telah
disucikan, sehingga makna qur'an telah terbentang begitu jelas
dihadapannya? Jika demikian, apa gunanya pernyataan : "Semua jawaban
telah ada di Qur'an" baginya? Apakah ia akan terus saja membohongi diri
dengan membaca terjemahan qur'an dan memaksakan diri meyakini bahwa ia
telah mendapatkan maknanya?
Jiwa ia timbun dengan segala cara. Ia tidak
ingin mendengarkannya. Hal ini, sudah barang tentu akan membuat seseorang
semakin terperangkap saja dalam rutinitasnya, dan semakin terkuburlah
potensi pencariannya akan kebenaran. Padahal seharusnya 'jeritan jiwa'
tersebut didengarkan. Jika anak kita menangis karena lapar, apakah kita
akan pergi bersenang-senang untuk melupakannya, dan berharap anak kita
akan berhenti menangis dengan sendirinya? Bukankah seharusnya kita
mencari tahu, kenapa anak kita menangis?